Seperti halnya Soekarno, Hatta juga merupakan sosok intelektual dan aktivis politik yang dipengaruhi oleh pikiran kritis dan progresif terhadap system yang dominan di zamannya, tidaklah mengherankan bila ia begitu memahami pikiran-pikiran Marx dan sosialis lainnya, tak hanya itu ia aktif dalam kelompok sosialis eropah.  Namun demikian, orisinalitas pikiran keindonesiaan pekat mewarnai gagasan-gasan dalam upaya kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat.  Ia dikenal sebagai bapak Koperasi Indonesia, dan karena penguasaannya sebagai sarjana ekonomi, tak mengherankan bila dialah yang paling gigih untuk merealisasikan demokrasi ekonomi-ekonomi kerakyatan, bahkan anti pemilikan terhadap barang dan jasa yang menguasai hajad hidup orang banyak (rakyat).
Hatta, pemuda yang dilahirkan dari negeri Minangkabau dengan corak masyarakat desa relatif lebih demokratis tinimbang Jawa, sekalipun baginya tetap menganggap aparatur ditingkat desa masih bercorak feodalistis atau duli tuanku.  Hatta terjun ke dunia politik seralit di usia muda, bahkan ketika kuliah di Belanda ia menjadi aktivis partai sosialis Belanda dan sering terlibat dalam rapat-rapat sosialis di Eropah.

Aktivitas politik internasionalnya tidak menjadikannya terasing dari tanah airnya, sekalipun berharap terhadap sosialis eropa, namun ia tetap menganggap penting Nasionalisme.  Kebangsaan Indonesia.  Dan oleh karenanya kemudian ia terjun dalam kancah politik nasional terutama setelah gerakan nasional mengalami masa yang sulit.  Hatta lebih percaya pada pentingnya pendidikan kaderisasi dan pelembagaan dari pada pendidikan massa yang berifat kharismatis dan propagandis, karena gerakan akan sangat bergantung pada seseorang bukan pada banyak orang dan kelembagaan. 

Gagasan Kemerdekaan yang diperjuangkan Hatta juga dalam missi kesejahteraan rakyat, kemerdekaan adalah awal untuk menata masyarakat adil-makmur, dimana kesejahteraan rakyat mampu diberikan oleh pemerintahan yang berkuasa atas dasar daulat rakyat.  Daulat rakyat, dimana rakyat memerintah rezim yang ada untuk memenuhi keperluan dan keinginannya.

Gagasan Daulat Rakyat bukan Daulat Tuanku: Demokrasi Kerakyatan

Hatta berpandangan bahwa kesejahteraan haruslah dinikmati oleh seluruh rakyat, rakyat memiliki hak untuk hidup layak.  Konsepsi ekonomi politik Hatta jelas mengkhawatirkan akan adanya eksploitasi baik oleh borjuasi maupun intelektual/teknokrat.  Bagi Hatta kedaulatan rakyat adalah final, hak rakyat adalah mengatur pemerintahan untuk kesejahteraan dirinya, dan oleh karena itulah demokrasi kerakyatan penting adanya.

Hatta percaya jalan demokrasi adalah yang paling tepat dalam merealisasikan cita-cita negara-bangsa seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, adapun yang dimaksudkan dengan demokrasi ini bukan sekedar demokrasi persamaan hak sehingga menimbulkan ketimpangan dan bahkan meningkat eksploitasi oleh pemilik kapital, oleh karenanya dibutuhkan demokrasi ekonomi yang lebih berdimensi keadilan, rakyat harus mengatur pengelolaan sumberdaya ekonomi sehingga demokrasi bukannya untuk menjadikannya rakyat sebagai alat saja.

“Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat.  Pendek kata, rakyat itu daulat alias raja atas dirinya. Tidak lagi orang seorang atau sekumpul orang pandai atau satu golongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri.  Inilah arti kedaulatan Rakyat! Inilah suatu dasar demokrasi atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja dalam hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan social ada demokrasi, keputusan dengan mufakat rakyat yang banyak”.[16]

Dalam proses pembuatan UUD 1945 terdapat satu pasal yang sangat fundamental bagi terbentuknya negara demokrasi, apalagi dalam usulan-usulan para peserta sidang BPUPKI nyata-nyata terdapat paham yang anti demokrasi, misalnya Soepomo dengan bentuk negara integralistiknya yang diasosiasikan senada dengan fasisme Hitler dan sesuai dengan jiwa dan kultur keindonesiaan, satunya rakyat dan pemerintahan, negara kekeluargaaan.  Negara yang mereduksi hak warga.  Hatta mengusulkan pentingnya hak bersuara atau berpendapat, hak berorganisasi, berkumpul atau berserikat  yang kemudian diformulasikan menjadi pasal 28[17]

Gagasan Usaha Bersama dan Koperasi :

Bangunan hubungan Industrial Ideal

Implementasi gagasan Hatta sesungguhnya dapat dilacak saat ia memimpin kabinet parlementer, ataupun saat kabinet Syahrir dan Natsir, dimana kedua orang ini cukup dekat baik politik maupun cultural disamping memiliki posisi strategis saat kedua sahabatnya memegang pemerintahan  dirinya sebagai Wapres. Yang jelas dan pasti, Hatta sangat berperan penting dan merintis kelembagaan ekonomi Indonesia merdeka mulai dari pembentukan perbankan nasional, koperasi dan perencanaan pembangunan ekonomi nasional guna merealisasikan cita-citanya dan juga apa yang diformulasikan di dalam pasal 33 UUD 1945.[18] Adapun substansinya memuat demokrasi ekonomi yang diidealkannya;

“…bahwa produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota–anggota masyarakat, bangun perusahaan yang sesuai dengan prinsip ini koperasi”.[19]

Kemudian dilain kesempatan Hatta menjelaskan tentang perekonomian indonesia merdeka dalam konteks hubungan yang lebih luas sebagi berikut:

“Perekonomian Indonesia Merdeka di atur dengan usaha bersama.  Dengan ini tidak dimaksud akan mematikan perusahaan yang kecil-kecil yang hanya dapat dikerjakan oleh orang seorang saja dan tiada  menyinggung keperluan umum.  Usaha bersama dilakukan terhadap kepada penghasilan yang besar-besar yang mengenai keperluan umum dan kemakmuran rakyat semuanya.  Desentralisasi ekonomi dilakukan dengan memakai koperasi sebagai perekonomian.  Jadinya Indonesia ibarat satu taman berisi pohon-pohon koperasi, yang buahnya dipungut oleh rakyat yang banyak”[20] 

Hatta dan Gagasan Negara Memastikan Kesejahteraan

Seperti diuaraikan di atas, gagasan negara Indonesia merdeka dalam bayangan Hatta dilukiskan oleh Taufik Abdullah dalam “Demokrasi dan tanggung Jawab” dengan tepat yakni:

“ …Hatta mengajukan konsep ‘negara pengurus’ dan menentang negara kekuasaan atau mchstaat.  Dalam bentuk negara inilah, menurut Hatta, system demokrasi, yang bertolak dari pengakuan akan kedaulatan rakyat yang bercorak gotong royong dapat diwujudkan. Dalam konteks ini pula ia berhasil mengajukan konsep perekonomian yang bercorak kooperatif. …meskipun UUD 1945 cenderung lebih berat kepada eksekutif, sebagaimana juga diakui Hatta ketika ia mengajukan perlunya pasal yang memberi tempat bagi hak bersuara dan berserikat.”[21]  

Hatta memandang penting peran rezim dalam meraih cita-cita mensejahterakan rakyat, ia menentang Individualime yang melahirkan kapitalisme-imperialisme, namun memberi ruang setiap individu memiliki hak politik dan ekonomi.  Tidaklah mengherankan bila gagasannya dipenuhi oleh isu demokrasi daulat rakyat atau demokrasi kerakyatan  serta corak perekonomian bersama atau koperasi sebagai pengejawantahan demokrasi ekonomi.  Seperti ungkapannya:

“Demokrasi kita bukan demokrasi politik saja, demokrasi kita bercorak social. Tujuannya yang terakhir ialah kemerdekaan manusia dari segala tindasan.”  Atau  “.. Dalam UUD kita memberikan ketentuan, bahwa di dalam demokrasi individu, orang seorang dan kolektivitet sama-sama terpelihara. Orang-seorang untuk semuanya dan semuanya untuk orang seorang, agar supaya terwujud cita-cita terutama di dalam Mukaddimah UUD, yaitu kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hokum Indonesia merdeka yang berdaulat sempurna.[22]

Dalam hal pembangunan, semasa Hatta sebagai perdana mentri yang menghadapi tekanan dari Belanda dan pembentukan RIS, mau tidak mau harus meninjau ulang programnya dan itu berarti rasionalisasi. Dalam beberapa isu misalnya menyangkut PHK, Krisis pangan akibat daerah surplus pangan dikuasai Belanda kembali, dan penghasilan buruh yang kecil Hatta meresponnya:

“Segala tindakan menuju rasionalisasi itu tidak boleh berakibat dengan menimbulkan pengangguran, yang pada dasarnya merugikan masyarakat.  Bagi tiap-tiap tenaga yang dikeluarkan dari jabatan karena berlebih harus dibangunkan sumber usaha baru, yang memberi penghidupan yang layak kepadanya.”  Sedangkan dalam isu makanan Hatta menganjurkan pentingnya upaya makanan bagi rakyat tetap berkecukupan baik melalui impor maupun merancang Sumatra menjadi ladang pangan mengingat tanahnya yang luas, sedangkan dalam pengupahan perburuhan ia merespon tuntutan SOBSI dalam kongresnya di Malang “Keuntungan yang pantas bagi kapital dan upah buruh yang berdasar perikemanusiaan”  sedangkan di bidang pendidikan Hatta menganjurkan “ Pendidikan rakyat didahulukan, Pengajaran adalah alat untuk menyempurnakan pendidikan itu, supaya dengan menyempurnakan pendidikan itu tercapai ketinggian kebudayaan bangsa.”[23]

Sedangkan di bidang pertanahan yang merupakan gantungan hidup sebagian besar rakyat politik agraria Hatta sangat lugas, selain menghapus hak konversi di Yogya dan Soerakarta melalui UU 13, 1948, sejak UU tersebut hilanglah hak tanah yang bersifat feodal. Bahkan dalam Konferensi BTI 26 Januari 1946 Hatta menyatakan:

“Pada dasarnya, menurut Hukum adat lama di Indonesia, tanah adalah kepunyaan masyarakat. Orang seorang boleh memakainya sebanyak yang perlu baginya dan keluarganya dan selama ia sanggup mengerjakannya. Karena itu timbullah hak memakai turun-temurun yang sudah sama rupanya dengan hak milik sendiri.

Berdasar kepada semangat UUD kita, boleh ditetapkan bahwa tiap-tiap orang boleh mempunyai tanah sebanyak yang dapat dikerjakannya sendiri dengan keluarganya dengan memperhatikan dasar tolong-menolong yang dilakukan di desa-desa.

Milik tanah besar hasrus dihapuskan. Harus dipelajari dengan teliti berapa besarnya maksimum milik tanah yang dibolehkan. Sebaliknya harus pula diusahakan supaya tanah yang dimiliki itu cukup hasilnya untuk menjamin hidup yang bercahaya bagi pak tani, cukup untuk dimakannya sekeluarga serta dengan lebihnya untuk membeli pakaian serta keperluan lainnya, pembayar pajak, iuran perkumpulan serta sekolah anaknya. Milik tanah yang terlalu kecil mengembangkan pauperisme, dan kemelaratan hidup harus dikoreksi dengan jalan transmigrasi.

Pemindahan hak milik tanah ke tangan orang lain boleh dengan seizin pemerintah desa (lurah dengan badan perwakilan desa).  Milik tanah berarti dalam Republik Indonesia menerima suatu kewajiban terhadap produksi dengan pedoman menghasilkan sebanyak-banyaknya untuk memperbesar kemakmuran rakyat.

Tanah milik yang terlantar, tidak dikerjakan, berarti suatu keteledoran terhadap masyarakat dan hak miliknya itu harus diambil oleh negara”.[24] 

Paparan di atas menunjukkan betapa Hatta lebih detail dalam menata kelembagaan dan program negara-bangsa dari pada Soekarno yang bersifat lebih umum dan menarik minat rakyat.
 
Top