Sejak proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945, pemerintahan Republik Indonesia dipmpin oleh Soekarno-Hatta yang notabene adalah
proklamator. UUD 1945 memang memandatkan hal demikian, dimana RI dipimpin
oleh seorang presiden dan wakil presiden. Karena reputasi dan kehendak
sejarah, kedua orang tersebut setelah paska kolonial Belanda selalu bersama
sekalipun terdapat berbagai pandangan yang berbeda diantara keduanya.
Perbedaan itu diabaikan untuk mewujudkan Indonesia merdeka yang sama
mereka cintai dan impikan. Namun demikian dinamika sejarah negara
proklamasi yang penuh dengan ketidakpastian, dimana kedatangan sekutu untuk
perlucutan senjata Jepang, juga diiringi kedatangan kolonialis Belanda eks
pemerintah Hindia Belanda.
Berbagai isu berkembang dan merebak sehingga menimbulkan
ketidakpastian, maka pemerintahan RI yang baru berdiri beberapa bulan dengan
UUD 1945 harus berkompromi dengan situasi, maka sejak 14 November
1945 dibentuklah Kabinet Sjahrir pertama, dimana perdanamentrinya adalah Sutan
Sjahrir. Secara konstitusi ini merupakan pelanggaran, karena UUD
1945 tidak mengenal jabatan perdana mentri. Namun putusan ini
diambil secara bulat oleh Presiden dan wakil Presiden atas dukungan KNIP yang
awalnya merupakan penasehat presiden berubah menjadi semacam dewan perwakilan
rakyat, dewan dimana sjahrir mempertanggung jawabkan pekerjaannya.
Perjalanan kabinet antara tahun 1945 hingga 1950 penuh
gejolak seiring dengan revolusi yang terjadi, berjuang mempertahankan
kedaulatan dari ancaman asing (Belanda yang ingin kembali) dan adanya pengakuan
internasional atas proklamasi 17 Agustus 1945. Selain itu, terdapat
intrik-intrik kekuasaan secara internal baik antar golongan partai, aktivis
revolusi dengan politisi dan juga golongan pendukung jepang dan gerakan bawah
tanah melawan Jepang, serta politik internasional yang diwarnai pengaruh sekutu
satu sisi dan Soviet uni di sisi lain, atau perang dingin. Hal ini tentu
mempengaruhi strategi dan taktik yang harsus dijalankan oleh Soekarno-Hatta
atau resultante keduannya dengan kekuatan politik yang ada saat itu.
Setidaknya, lima tahun perjalanan Indonesia awal ini telah
terjadi pergantian hingga 12 kali kabinet , dari gambaran ini memperlihatkan
bahwa situasi politik yang labil, kabinet jatuh bangun. Soekarno-Hatta
tetap menjadi symbol negara. Hatta sempat dua kali menjadi perdana
mentri, namun tak bisa juga membendung kejatuhan kabinetnya. Adapun rezim
pemerintahan selama lima tahun awal tersebut sebagai berikut[39]:
1.
Kabinet Presidensiil : 2 September 1945 s.d. 14 November 1945
2. Kabinet
Sjahrir ke I : 14 Nopember 1945 s.d. 12 Maret 1946
3. Kabinet
Sjahrir ke II : 12 Maret 1945 s.d. 2 Oktober 1946
4. Kabinet
Sjarir ke III : 2 Oktober 1946 s.d. 3 Juli 1947
5. Kabinet
Amir Sjarifudin ke I : 3 Juli 1947 s.d. 20 Januari 1948
6. Kabinet
Amir Sjarifudin ke II : 11 Nopember 1947 s.d. 20 Januari 1948
7. Kabinet
Hatta ke I (Kabinet Presidensiil) : 20 Januari 1948 s.d. 4 Agustus 1948
8. Kabinet
Darurat : 19 Desember 1948 s.d. 13 Juli 1949
9. Kabinet
Hatta k II (Kabinet Presidensiil) : 4 Agustus 1949 s.d. 20 Desember 1949
10. Kabinaet
Susanto (Kabinet Peralihan) : 20 Desember 1949 s.d. 21 Januari 1950
11. Kabinet
Halim (Republik Indonesia Jogya-Jakarta) : 21 Januari 1950 s.d. 6
September 1950
12. Kabinet
Republik Indonesia Serikat Pertama dan Terakhir : 20 Desember 1949 s.d. 6
September 1950
Dari gambaran kabinet tersebut, nampak dominasi PSI, semangat
sosio-nasionalisme rupanya mempertemukan arah kekuatan politik, sehingga
syahrir dan amir yang bergerak bersama pemuda dan dimasa jepang bergerak bawah
tanah menjadi perdana mentri. Namun bila dilihat komposisi kabinet, maka
konstruksi politik yang ada mendekati gagasan Soekarno mengenai Nasionalisme,
Agama dan marxisme[40]. Anggota kabinet tersebut
terdiri dari PSI, Masyumi, PNI dan PKI.
Semasa perjuagan fisik ini, dimana perhatian nasional adalah
mempertahankan proklamasi dan kedaulatan NKRI, ternyata juga lahir bebebrapa
kebijakan yang strategis bak bagi kehidupan demokrasi maupun kesejateraan, hal
tersebut adalah maklumat X dari Hatta yang membuka kran demokrasi yakni
berdirinya partai-partai sehingga terhindar dari ide monolitik yang sempat
mencuat dengan ide partai pelopor. Kebijakan strategis lainnya berhubungan
dengan kehidupan perburuhan.
Dinmika politik yang terjadi masa ini menggambarkan gesekan
antara ‘partai berkuasa’ dengan oposannya terutma berkaitan dengan isu hasil
diplomasi dan juga mengenai peran-peran kelompok berkuasa yang dikuasai oleh
teknokrat/intelektual berhadapan dengan kelompok radikal-idelogis yang tidak
berpendidikan tinggi yang penuh dengan selimut romatika perjuangan. Jatuh
bangunnya cabinet tidak bias dilepaskan dari konteks yang demikian, bila saja
dikerucutkan maka akan tampak adanya tiga sumbu kekuatan besar dalam republic
yang baru merdeka ini yakni: Soekarno-Hatta sebagai obor kebangsaan dan dua
sumbu penyangganya yakni Syahrir-Amir Sjarifudin dengan kekuatan diplomasi dan
teknokratnya dan Tan Malaka-Sudirman dengan persatuan perjuangannya.
Diantara gemuruh politik tersebut, kaum buruh relative
memperoleh keuntungan, karena sudah terorganisir dan ideology partai yang
memposisikannya sebagai kelompok strategis, beberapa kebijakan lahir seperti:
Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik
Indonesia, Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah (PP) 1948 No. 18 (18/1948)
tentang Kecelakaan yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah No. 2,
tahun 1948.
Masa UUDS dan
Konstituante 1950 - 1957
Setelah masa diplomasi dan revolusi fisik telah memperoleh
pengakuan internasional khususnya Belanda, pejuang dan para pendiri republic
sesungguhnya diliputi kekecewaan terutama mengenai kedaulatan atas Irian Barat,
betuk Negara serikat dan perekonomian nasional yang masih dibawah penguasaan
Belanda. Dengan langkah-langkah yang pasti, dibangun kembali Negara
Kesatuan Republic Indonesia dan terealisasi 6 September 1950 dengan menggunakan
UUDS 1950, dimana bentuk pemerintahan berupa parlementer dengan perdana mentri
Natsir.
Tak jauh berbeda dengan pemerintahan di zaman
1945-1949, masa 1950-an situasi politik Indonesia sebangun dengan
sebelumnya, bila masa sebelumnya begitu dominannya PSI dan Masjumi, maka 7
tahun berikutnya di dominasi oleh peran Masjumi dan PNI, seiring denga
kejatuhan politik sjahrir. Usia kabinet juga tak bertahan
lama, berikut ini kabinet yang ada antara tahun 1950-1957[41] yaitu:
a. Kabinet Natsir
(Kabinet Republik Indonesia Kesatuan ke I) : 6 September 1950 s.d. 27 April
1951
b. Kabinet Sukiman
(Kabinet Republik Indonesia Kesatuan ke II) 27 April 1951 s.d. 3 April 1952
c. Kabinet Wilopo
(Kabinet Republik Indonesia Kesatuan ke III) 3 April 1952 s.d.1 Agustus 1953
d. Kabinet Ali
Sastroamidjoyo ke I (Kabinet Republik Indonesia ke IV): 1 Agustus
1953 s.d. 12 Agustus 1955
e. Kabinet
Burhanuddin Harahap (Kabinet Republik Indonesia Kesatuan ke V): 12 Agustus 1955
s.d. 24 Maret 1956
f. Kabinet Ali
Sastroamidjoyo ke II (Kabinet Rep. Indonesia Kesatuan ke VI): 24
Maret 1956 s.d. 9 April 1957
Kejatuhan cabinet biasanya akibat mosi dari lawan politiknya
atau oposisi dalam parlemen yang waktu itu disebut DPRS yang merupakan
perluasan dari KNIP dengan komposisi kekuatan politik yang ada, jadi bukan
hasil pemilu. Disamping juga akibat cabinet menemui jalan buntu karena
berbagai pesoalan yang muncul terutama sehubungan dengan isu Irian Barat,
perekonomian nasional, otonomi daerah dan munculnya ketidakpuasan daerah
(militer).
Sekalipun cabinet jatuh bangun, namun kesadaran membangun
sudah mulai bersemi dikalangan elite, sekalipun masih tak sedikit yang
beranggapan revolusi belum selesai akibat Irian Barat yang masih dicengkeram
Belanda dan perekonomian nasional masih dicengkeram kekuatan asing terutama
sector keuangan, pertambangan, perkebunan dan perdagangan. Secara
internalpun timbul persoalan dengan penduduk asli non pribumi yang juga
menguasai distribusi akibat kebijakan colonial yakni bangsa china.
Mengatasi situasi yang demikian, dicetuskanlah Program
Benteng, yang berusaha memotong transfer of paymen terutama ke Belanda yang
masih besar. Dimana selama tahun 1950 – 1957 penghasilan total yang
diterima Belanda diperkirakan oleh Meier sebagai berikut:
Pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari
hubungan ekonomi dengan Indonesia (ekspor ke Indonesia,
pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman modal di Indonesia,
transfer uang pensiun dan tabungan, dan lain-lain) merupakan 7,8 persen dari
pendapatan nasional Belanda. 8,2 persen (1951); 7,0 persen (1952); 5,8
persen (1953); 4,6 persen (1954); 4,1 persen (1955); 3,3 persen (1956); dan 2,9
persen (1957)[42].
Program pembangunan ini sesuangguhnya dirintis semasa
cabinet Hatta yang membentuk dewan siasat perekonomian yang langsung diketuai
oleh wapres, yang kemudian setelah 1950-an pelembagaannya semakin kuat dan
jelas, terutama sejak kementrian kemakmuran dibawahi Soemitro Djojohadikusumo
seorang teknokrat yang dikenal dekat dengan PSI, adapun nama program tersebut
dikenal dengan Program Banteng.
Program Sumitro Djojohadikusumo menggambarkan dengan jelas
maksud dari rencana ini. Dimulai pada tahun 1951, BIN mengucurkan dana sebesar
Rp 160 juta untuk membiayai proyek-proyek industri. Berbagai macam industri
termasuk pengolahan karet, semen, tekstil didirikan. Pemerintah menguasai kepemilikan
serta manajemennya. Namun pemilik modal dalam negeri tidak mampu memobilisir
modal mereka untuk menjadi partner dalam industri-industri tersebut dan juga
tak mampu menemukan usaha lain yang lebih menguntungkan.
Beberapa perusahan yang dibeli atau didirikan oleh pemerintah
adalah Indonesia Service Company -perusahan milik pemerintah yang membeli
General Motor; di Tanjung Priok mendirikan PT. PELNI. Upaya Pemerintah Indonesia untuk
mengembangkan sektor industri manufaktur modern yang dikuasai dan dikendalikan
oleh orang Indonesia sendiri dimulai dengan Rencana Urgensi Ekonomi
yang bertujuan mendirikan berbagai industri skala besar. Menurut rencana ini,
pembangunan industri-industri akan dibiayai dulu oleh pemerintah kemudian akan
diserahkan kepada pihak swasta Indonesia, koperasi, atau dikelola sebagai
usaha patungan antara pihak swasta nasional dan Pemerintah Indonesia.
(Anspach 1969: 163) Untuk memperkuat perlawanan terhadap imperialisme, dan
disisi lain memperkuat kemandirian ekonomi nasional, maka pada tahun 1950
pemerintah Soekarno mendeklarasikan poros kekuatan ekonomi baru yakni gerakan
Banteng. Program ini memiliki tujuan utama untuk membangkitkan industri
nasional terutama yang berbasiskan kepemilikan pribumi dan menempatkan sektor
ekonomi yang vital, seperti perdagangan dan impor dibawah pengendalian negara.
Tujuan mulia program Banteng ternyata berbeda dalam
prakteknya, borjuasi nasional Indonesia yang terdiri dari kaum
priyayi dalam partai-partai berkuasa -seperti PNI dan Masyumi- tidak memiliki
kapasitas borjuisme yang cukup. Pada prakteknya muncul kelompok-kelompok
pengusaha pribumi yang menyalahgunakan lisensi ini: dengan menjualnya kepada
pengusaha asing, terutama pengusaha-pengusaha cina. Pengusaha-pengusaha pribumi
“dadakan” tersebut sama sekali tidak memiliki bekal kemampuan usaha yang
memadai. Akhirnya mereka hanya “menyewakan” lisensi yang mereka punyai tersebut
kepada pengusaha-pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal dari pengusaha
keturunan Cina. Praktek kongkalingkong ini lah yang melahirkan istilah
Ali-Baba. Si Ali yang memiliki lisensi dan si Baba yang memiliki uang untuk
memodalkerjai lisensi tersebut.
Kejatuhan Kabinet sebelumnya tidak langsung meniadakan
rencana perekonomian nasional melawan kolonialisme Belanda dan asing, hal ini
dapat dipahami mengingat pandangan dan makna kemerdekaan yang dipahami para
pendiri republic, ataupun partai politik dan juga organ partai lainnya seperti
serikat buruh dan tani yang pada tahun lima puluhan semakin giat untuk merealisasikan
cita-cita politiknya.
Pada tahun 1953, dilakukan nasionalisasi terhadap Bank Java
dan kemudian namanya berubah menjadi ”Bank Indonesia”. Serta membentuk dua
Financial Bank yaitu: Bank Industri Negara (BIN) yang akan membiayai
proyek-proyek indutri; dan Bank Negara Indonesia (BNI) yang menyediakan
foreign-exchange sekaligus membiayai kegiatan impor. Di samping itu, karena
desakan kaum kiri dan nasionalis, kabinet Wilopo akhirnya melakukan
nasionalisasi terhadap perusahaan listrik dan penerbangan . Selanjutnya
pemerintah membiayai perusahan negara melalui BIN di sektor produksi semen,
tekstil, perakitan mobil, gelas, dan botol. Langkah terakhir pemerintah adalah
berusaha memutuskan kontrol Belanda dalam bidang perdagangan ekspor-impor
dengan mendirikan Pusat Perusahaan Perdagangan pada tahun 1948 untuk mengekspor
produk pertanian Indonesia. Pemerintah juga mendirikan USINDO pada tahun 1956
untuk mengekspor industri manufaktur -yang dibiayai oleh BIN- dan mengimpor
bahan mentah untuk keperluan industri mereka. Semua langkah intervensi
pemerintah dalam bidang ekonomi ini ditujukan untuk membangun infrastruktur
bagi perkembangan kelas kapitalis dalam negeri.
Nasionalisasi semakin bergelora seiring dengan tuntutan dari
gerakan buruh dan tani yang merasakan langsung eksploitasi atas diri mereka
dalam pereusahaan asing, rapat-rapat akbar, demonstrasi dan utusan-utusan
gerakan menemui eksekutif atau partai dan juga kongres organisasi buruh dan
tani seakan dalam harmoni nasionalisasi.. Iklim politik inilah yang
menguasai ruang politik saat itu. Organisasi buruh yang terus
meyuarakan kepentingannya dengan sendirinya memperoleh banyak perhatian dan
respon, ditahun 1950an ini lahir beberapa peraturan perburuhan baik menyangkut
pengupahan, cuti, maupun perselisihan perburuhan.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik
Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor
3) belum mengatur secara lengkap jaminan social tenaga kerja serta
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari
Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor
4);
Undang-Undang No. 22 tahun 1957 (L.N. tahun 1957 No. 42)
tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, perlu diadakan ketentuan tentang
pengangkatan dan pemberhentian ketua, anggota dan anggota-pengganti dari
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah; Selain UU juga ada
beberapa PP seperti cuti hamil, perjajian perburuhan, dan istirahat buruh.
Disamping itu, pemerintahan yang berkuasa sangat responsive
dalam memberikan jaminan social bagi hari tua (pensiunan), anak aparatur
pemerintah, kesehatan kaum miskin, ibu hamil dan penyandang cacat dan
lainnya. Semangat untuk mensejahterakan rakyatnya sesuangguhnya juga
terjadi di pedesaan, memang responnya sangat lamban dibandingkan terhadap
perburuhan misalnya selama 7 tahun tersebut baru lahir sekitar tiga PP yang
menyangkut peraturan penguasaan tanah Negara, pengelolaan Tindakan-Tindakan
Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi, dan pembangunan masyarakat desa. Dan
puncaknya terjadi pada tahun 1960 dengan lahirnyya UUPA.
Masa Demokrasi
Terpimpin 1957 - 1966
Masa gonjang-ganjing politik diakhiri oleh Soekarno secara
dramatis dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, dimana Indonesia kembali
menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi. Ketegangan politik segera
terjadi dan untuk ini Indonesia membayarnya dengan cukup mahal dimana
Hatta mengundurkan diri sebagai bentuk kritik bagi Soekarno yang dianggap
otoriter[43]. Setelah merilis Demokrasi Kita,
Soekarno sendirian merealisasikan angan-angannya tentang Indonesia yang
diharapkan. Bila sebelumnya Soekarno lebih menjadi simbul, maka setelah
dekrit ia menjadi actor tunggal dengan dukungan partai politik dan
militer. Kepiawaiannya dalam menej konflik telah membawanya lebih jauh ke
dalam ide-ide semasa perjuangan dulu, maka lahirlah USDEK, MANIPOL, dan NASAKOM.
Proyek Nasionalisasi yang digawangi militer dalam bentuk
perusahaan Negara merupakan usaha mewujudkan ekonomi nasional yang BERDIKARI,
bahkan di tingkat internasional ia menciptakan sayap kekuatan baru dengan panji
NEW Emerging Forces dengan proyek GANEFO-nya. Masa inilah Indonesia memimpin
dunia dengan proyek Anti NEKOLIM-nya. Namun rupanya Soekarno sesungguhnya
tidak sejalan dengan pihak militer dan parpol yang terbukti kemudian meletuskan
peristiwa G 30 S/PKI atau GESTOK yang membawa petaka bagi kekuasaan dan
cita-citanya. Nasionalisasi yang diharapkan dapat menjadi roda penggerak
bagi gerakan Indonesia yang NEFO Anti NEKOLIM dan menjadi Negara
BERDIKARI gagal seperti gagalnya program Banteng-nya Masyumi-PSI.
Selain Wacana dan guratan politik yang tegas sebagai
Negara-bangsa, karya terbesar pemerintah di masa ini adalah perencanaan
pembangunan semesta 9 tahun dengan perancangnya DEPERNAS yang merupakan cikal
bakal Bappenas sekarang. Banyak yang menyitir secara sinisme mengenai
hasil dewan ini, dimana lebih dianggap sebagai karya sastra tinimbang dokumen
perencanaan, bukan karena ketebalan melainkan karena pimpinannya adalah Muh
Yamin yang dikenal sebagai sastrawan. Namun bila kita telusuri
sesungguhnya perencanaan yang ada dalam buku ini, sifatnya jauh lebih
representative tinimbang MUSRENBANG saat ini yang cenderung tipuan, lebih jelas
karena sudah jelas target dan biayanya tidak seperti sekarang dimana RPJM hanya
kata manis dan target sehingga bisa berubah tiap tahun sesuai kehendak
teknokrat dan politisi karena sifatnya lebih umum dan berakibat sering tak
terpenuhinya target pembangunan.
Di masa inilah gagasan gagasan besar Soekarno meluruk dan
mengoyak tata dunia yang tidak adil, sayangnya dia tidak memperoleh dukungan
memadai dalam mengimplementasikan intrepretasinya mengenai Indonesia
Merdeka. Dalam pidato yang berjudul “Banting Stir untuk Berdikari” di
depan sidang umum MPRS tanggal 11 April 1965, Soekarno menyerukan kepada
seluruh kekuatan pokok revolusi: buruh, petani, mahasiswa progresif, perempuan,
termasuk etnis tionghoa untuk memperbesar kekuatan ekonomi Indonesia agar
lepas dari kepentingan asing. Sangat jelas bahwa Indonesia pernah
punya sejarah panjang dalam melakukan pergulatan membangun haluan ekonomi baru,
yaitu berdikari untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme.
Masa Transisi 1966 –
1980 : Pergulatan Demokrasi Nasional dan Asing
Setelah tercabik-cabik akibat permainan politik ditengah arus
perang dingin barat dan timur yang berkonsekwensi terhadap jatuhnya rezim
demokrasi terpimpin Soekarno, munculnya rezim yang menyebut diri Orde Baru
dengan arsitektur politisi militer, golkar dan birokrasi-teknokrat mewujudkan
pembangunanisme yang memperoleh dukungan barat. Konsekwensinya adalah
integrasi hampir tanpa syarakat ke dalam sistem dunia yang dominan yaitu
percaturan ekonomi-politik dan sosial-budaya yang dikungkungi Negara colonial
di masa lalu. Investasi dan pinjaman asing mengalir untuk menstabilisasi
perekonomian yang diporakporandakan akibat pergulatan timur dan barat, dan
kejadian ini berulang dengan diakhir rezim 1998 yang merepresentasikan
pertarungan elit ekonomi-politik otoririter dan neolib pimpinan asing yang
memperdaya kekuatan demokratik rakyat.
Masa transisi ini penuh dengan prestasi namun juga
penindasan, prestasi karena lingkaran kekuasaan masih mengadaptasi tuntutan
gerakan rakyat, misalnya tuntutan Malari (15 januari 1974) melahirkan Banpres
dan Inpres pembangunan pertanian, kesehatan dan pendidikan serta pentingnya
modal nasional. Gerakan Mahasiswa 1977/1978 mempertajam tuntutan Malari
dan menggambarkan situasi Indonesia dalam suatu: “Indonesia Di Bawah Sepatu
Laras” dan pemerintah merespon dengan Pembangunan yang mempertimbangkan
Pendekatan Kebutuhan Dasar yang kemudian mempopulerkan istilah 9 kebutuhan
pokok dan 8 jalur pemerataan pembangunan.
Kebijakan dan program tahun 70-an yang lahir dari pergulatan
politik yang penuh ketegangan antara rezim dan oposan melahirkan suatu prestasi
di decade berikutnya seperti swasembada pangan, pendidikan dan kesehatan yang
meningkat tajam serta tentu saja kesejahteraan bertambah baik sekalipun
kemudian menimbulkan kesenjangan yang tajam akibat kebijakan Negara Otoriter
Birokrat Rente istilah Arief Budiman, dimana Birokrasi dikuasai dan dikendalikan
oleh Militer.
Masa Konsolidasi
Ekonomi-Politik dan Deregulasi-Debirokrasi
Masa 1970-an tersebut yang menjadi dasar kemajuan pedesaan
baik ekonomi dan sosial yang berimplikasi terhadap penanggulangan
kemiskinan. Sayangnya apa yang dilakukan masa ini tidak berkelanjutan,
karena 5 tahun sejak 1980 terjadi konsolidasi kekuasaan yang kemudian
menjadikan cikal bakal sentralisasi ekonomi-politik dan sosial-budaya pada
elite pusat bahkan intrepretasi ideology dan konstitusi.
Social-Enginering Masyarakat Politik melalui Massa Mengambang dan Perwakilan
Korporasi Negara (Representasi yang direstui), Kampus menjadi NKK-BKK,
Penyeragaman Desa melalui UU No 5/1979 dan tentu saja puncaknya adalah UU No 5
tahun 1985.
Di masa ini pulalah lahir kekuatan konglomerat yang merupakan
lingkaran elit serta munculnya bisnis keluarga istana. Situasi ini
bersamaan dengan fatwa apa yang dikenal dengan deregulasi dan debirokrasi yang
merupakan penjabaran dari Struktural Ajustment Program (SAP) dari Washington
Consensus yang mempersiapkan suatu jalan siasat baru yakni Neoliberal.
Merajalelanya liberalisasi keuangan dan perbankkan sejak awal
1980-an inilah yang menjadi dasar terjerembabnya perekonomian nasional yang
semakin tidak terkendali yang berakhir dengan krisis moneter dan kejatuhan
rezim. Industri perbankkan yang meluas dan merebak, pasar modal dan spekulasi
keuangan menjadi acuan, dan industrialisasi substitusi impor serta ekstraksi
yang diproteksi telah mengalahkan pembangunan pertanian dan pedesaan akibat
ilusi dari teori pembangunanisme terutama WW Rostow. Peran asing semakin
menguat dalam perekonomian yang demikian.
Satu-satunya prestasi yang membanggakan adalah program IDT
dan Mobilisasi deklarasi Jimbaran yang dilanjutkan dengan Takesra dan Kukesra
sekaligus pengendalian kependudukan. Katup penyangga ini tak berarti sama
sekali akibat kebijakan makronya lebih eksploitatif, sehingga sentralisasi
menciptakan perangkap yang membuat lumpuhnya daya beli masyarakat.
Situasi ini juga membuat gerah actor asing, yang sengaja atau
tidak, telah mendorong terjadinya krisis moneter yang kemudian berdomino
menjadi krisis multidimensi dan membuka jalan reformasi. Reformasi yang
sayangnya lebih siap dihadapi oleh pihak pendukung asing atau neolib, sehingga
struktur strategisnya masih dalam cengkeraman kelompok ini dan gagasan
konstitusi seperti yang dipikirkan oleh pendiri republic kembali tidak
memperoleh jalan.
Masa Reformasi:
Ilusi Konstitusionalis dan Pemberdayaan
Setelah kejatuhan rezim Soeharto, kebijakan nasional dalam cengkeraman
rezim Washington Consensus. Rezim yang memenangkan pemilu tersandera, bahkan
berbagai proses pembuatan UU kembali seperti di masa kejatuhan Soekarno
lihatlah bagaimana proses pembuatan UU PMA, UU Sumberdaya Air, UU Migas dan
lainnya bahkan bila rezim ini gagal merubah misalnya UUD 1945 mereka menyodok
melalui kebijakan privatisasi atau beragam kebijakan mentri yang intinya adalah
privatisasi dan liberalisasi yang disamarkan dengan kemitraan dan partisipasi,
bahkan demokrasi dan tata pemerintahan yang baik. BI telah menjadi
instrument moneter (dan itu berarti elite dan asing) tinimbang untuk
kesejahteraan rakyat. Independensinya diartikan memegang teguh dalil
kapitalime, dimana perbankkan harus memegang prinsip C5 yang berarti hanya mungkin
diakses oleh kelas menengah. BI telah menjadi Negara dalam Negara, ia tidak
bisa berpihak pada rakyat secara total seperti yang dilakukan oleh
M.Yunus dengan Grameen Bank dan Wholeseller atau setara bank central nya.
Kekayan sumberdaya alam dibagi antar elite termasuk asing atas nama investasi,
tender, dan lainnya.
Kemudian yang terjadi seperti kita alami sector riel dan
sector rakyat tertatih tatih tumbuh bahkan menghadapi ancaman dengan beragam
isu mulai dari ISO, Lingkungan, Kesehatan yang pada intinya memarginalkan
produksi dan industri rakyat. Sebaliknya mereka tidak mau meliberalisasi
pasar kerjanya, menutup rapat dengan berbagai persyaratan atas nama
profesionalitas.
Kemiskinan turun lamban tetapi kesenjangan makin melebar
sehingga rakyat merasakan kemelaratan sekalipun yang dikata-gorikan tidak
miskin. Biaya penanggulangan kemiskinan yang makin besar ternyata tidak
serta merta mempercepat pengura-ngan angka kemiskinan. Tetapi yang pasti
semakin tinggi biaya penanggulangan kemiskinan adalah semakin besarnya Utang
luar negeri. Pemberdayaan yang menjadi kunci program pada realitasnya
justru menciptakan ketergantungan baik biaya maupun pendamping, program ini
gagal mentransformasikan pedesaan serta mendistruksi sistem perencanaan
dan penganggaran yang ada.
Bahkan ada yang melihat program pemberdayaan berbasis utang
(WB) ini merupakan kuda troya Neolib. Jadi, jangan berharap terhadap
penanggulangan kemiskinan yang demikian, yang sudah teruji dari program ini
layaknya suatu sinetron berseri, terus berlanjut tanpa kepastian dan bila
berakhir maka berakhir pula keberlanjutannya.
Kemiskinan yang diderita tidak kurang dari 31 juta rakyat
versi BPS atau hampir separuh warga versi Bank dunia, adalah realitas
kekinian. Merekalah yang hidup dalam situasi serba sulit bahkan tanpa
martabat, sementara kekayaan sumberdaya alam dinikmati oleh pihak asing dan
segelintir elit dan hidup dalam kelimpahan kemewahan. Pembangunan jelas
tidak berpihak pada mereka karena terbatas sekali yang terentas dari
kemiskinannya sekalipun biayanya berlipat ganda dari pembagian rata garis
kemiskinan. Misalkan saja setiap hari kita memberikan mereka uang Rp.6.000,
maka selama setahun membutuhkan tidak lebih dari 71.000.000.000.000 agar mereka
di atas garis kemiskinan. Dari program penanggulangan kemiskinan yang
terentas dari kemiskinan hanyalah 2 juta orang dengan biaya di atas Rp 50
trilliun, bila saja programnya dalam bentuk pembagian hanya membutuhkan sekitar
Rp 4 triliun saja untuk dua juta orang.
Pertanyaan Etis dan Ideologisnya : Bermoralkah Pembangunan
yang kita lakukan ? Sesungguhnya Pembangunan atau APBN dan BI bekerja
untuk kepentingan dan keuntungan siapa ? Partai Politik didirikan untuk apa dan
siapa? Kalau demikian. Bagaimana mandate Daulat Rakyat ? *** RT