Negara Kesejahteraan (NK) merupakan suatu bentuk negara yang dalam
penyelenggaraan pemerintahannya menitik beratkan pada upaya pemenuhan dan
perlindungan kesejahteraan warga Negara, jadi praksis ekonomi-politik dan
social pemerintahan secara sistemik menjamin seluruh warga negara memperoleh
kesejahteraan. Bentuk NK ini adalah pilihan ekstrim yang menolak antara
individualisme lawan sosialisme-komunisme, pasar lawan perencanaan terpusat
negara serta antara adanya pemilikan individu lawan tanpa pemilikan. NK tidak
mau terejebak dalam perdebatan filosofis dua kutub pemikiran, melainkan
berupaya menggabungkan aspek positif keduanya seraya merancang policy yang
berbasis dua nilai falsafati tersebut.
Dalam NK kedua nilai dan instrumen hidup bersamaan dengan pengelolaan
negara, jadi pasar dan peran negara sama dominannya, pemilikan individu dan
pemupukan kapital dibenarkan tumbuh subur, namun pajak progresif atas
penumpukan nilai lebih itu dilangsungkan secara intensif, sehingga kehidupan
individu dan kolektif berkembang bersama dan saling menunjang. Kemajuan
seseorang berimplikasi terhadap kesejahteraan warga lainnya. Tidaklah
mengherankan dalam NK, struktur masyarakatnya, barang dan jasa publik
diorganisasikan secara berbeda dengan negara-negara penganut kapitalisme atau
komunisme semata. Esping-Andersen mengungkapkan bahwa:
“…negara kesejahteraan bukan hanya suatu mekanisme untuk melakukan
intervensi terhadap, atau mengoreksi struktur ketidak-setaraan yang ada; namun,
merupakan suatu system stratifikasi social khas. Negara kesejahteraan merupakan
suatu kekuatan yang dinamis dalam penataan ulang relasi social…”[1]
Sederhananya, Negara kesejahteraan memiliki aspek menonjol dalam tiga hal seperti yang dilihat oleh S Kuhnle dan SEO Hort yaitu:
a. Dekomodifikasi,
b. Stratifikasi
Sosial khas dan
c. Penciptaan lapangan
Kerja.
Ketiga hal ini penting karena saling dukung, dimana untuk menerapkan
kebijakan social dibutuhkan modal nasional yang kuat, dalam hal ini akan dapat
dicapai dengan kerja keras warganya sehingga melahirkan pertumbuhan ekonomi
yang kemudian akibat kebijakan sosialnya justru menciptakan formasi social khas
dimana terdapat jaminan bagi seluruh warganya untuk menikmati hak social dan
terlindungi dari hidup tanpa martabat akibat kemelaratan. Pandangan ini
memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbasis lapangan kerja ini subordinat
dari kebijakan social yang mencerminkan skema kesejahteraan.
Jadi negara kesejahteraan bukan merupan konstruksi atau desain ekonomi
(makro) atau pembangunanisme –sekalipun masih dominan penganut keynisian-
melainkan suatu utopia social-politik yang diperjuangkan dengan impian yang
bertumpu pada pengakuan universal hak social (ecosoc-right), mengatasi
kemiskinan dan kesenjangan kelas atau social, dimana peran afirmatif negara
memperoleh basis dukungan politik yang luas melalui pembangunan karakter dan
kebangsaannya serta berbagai kebijakan dan kelembagaan social.[2]
Pandangan tersebut membutuhkan suatu basis legitimasi yang kuat, sekalipun
mungkin peran di luar pemerintah, namun dalam proses inisiatif jelas
membutuhkan peran pemerintah dan untuk itu adalah sangat penting adanya
dukungan basis politik. Tanpa basis politik yang kuat akan terjadi
seperti halnya di negara komunis atau negara berkembang yang mana menjadikan
negara dan elitenya menjadi predator atau pemburu rente[3] untuk
kepentingan relatifnya.
Dukungan basis politik yang memadai hanya mungkin diperoleh bila ada
kesadaran nasional untuk membentuk karakter tertentu dalam bernegara bangsa,
terutama yang dicitakan bersama. Pengertian ini menunjukkan hubungan
timbal balik antara rezim pemerintahan dan konstituennya yang direpresentasikan
oleh partai politik dan kelompok masyarakat sipil (kepentingan lainnya).
Cita-cita bersama yang dimaksud adalah kesejahteraan. Tidaklah
mengherankan bila Mashall memformulasikan:
“…istilah tersebut (negara kesejahteraan) merujuk pada suatu komitmen
politik yang baru, penulisan ulang kontrak social antara negara dan warganya…
yang melibatkan pengakuan atas hak social seluruh warga dan merefleksikan suatu
tekad untuk menjembatani kesenjangan kelas social yang ada…”[4]
Dalam upaya mencapai kondisi kesejahteraan seperti yang diuraikan di
atas, dibutuhkan kondisi obyektif untuk mendukung tercapainya cita-cita,
adapun kondisi obyektif yang diperlukan setidaknya ada dua aspek yakni: a. Aspek
fundamental dan b. aspek instrumental. Aspek Fundamental merupakan aspek
dasar yang menentukan tingkat keberhasilan aspek instrumental yang merupakan
serangkaian kebijakan publik dari pemerintahan dan secara langsung menyentuh
kesejahteraan seluruh warganya. Esping-Andersen (1990) mensyaratkan
empat pilar utama terbentuknya NK yaitu:
a. Social Citizenship
b. Fulldemocracy
c. Modern Industrial
Relation system
d. Right to Education
Pemenuhan hak social warganya melalui mekanisme bukan pasar
(dekomodifikasi) menggambarkan hak social warga yang wajib dipenuhi oleh
negara, yang mana dalam prosesnya menggunakan demokrasi yang berkeadilan,
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi melalui strategi system hubungan
industrial dan pendidikan yang memungkin kebijakan social dilakukan tanpa
hambatan social-politik.
Sedangkan aspek instrumental yang sangat penting dan dianggap secara
langsung berhubungan dengan tingkat kesejahteraan adalah:
a. Ketenagakerjaan
b. Pendidikan
c. Kesehatan
d. Jaminan Sosial
e. Perumahan
f. Kelompok Rentan
Dalam konteks Republik Indonesia, masyarakat tanpa kemiskinan, sejahtera
adil dan makmur merupakan cita-cita atau tujuan berdirinya negara bangsa
ini. Dalam konstitusi jelas tujuan ini termaktub dalam pembukaan dan
batang tubuh UUD 1945. Hal ini merupakan basis dukungan politik terhadap
gagasan negara kesejahteraan di Indonesia, dukungan ini akan semakin kuat
legitimasinya apabila statement dalam konstitusi tersebut memang merupakan
suatu kristalisasi perjuangan dan wacana yang dicitakan oleh para pendiri
negara, karena merupakan keberlanjutan dari gagasan yang direpresentasikan dari
kepentingan rakyat sebelum kemerdekaan.
Cita-cita negara bangsa yang termaktub dalam konstitusi dalam hal ini
UUD 1945 akan sulit direalisasikan bila tidak memperoleh dukungan basis politik
terutama partai politik yang merepresentasikan kekuatan social yang ada, untuk
itulah diperlukan suatu penulusuran terhadap partai politik yang di zamannya
cukup signifikan dalam memberi pengaruh bagi jalannya pemerintahan atau bahkan memimpin
pemerintahan dalam periode tertentu.
Hingga saat ini, pengkajian mengenai hal ini masih sangat terbatas, dan
untuk mengisi kekosongan itulah dilakukan studi ini dengan melihat dukungan
legitimasi dari para pendiri republik bagi gagasan negara kesejahteraan yang
dalam hal ini akan diwakili oleh Soekarno, Hatta dan Tan Malaka[5] yang disaamping alasan ketokohannya juga untuk
sekedar menujukkan konfigurasi politik yang ada saat itu. Basis dukungan
berikutnya adalah dengan melihat partai politik yang akan diwakili oleh partai
Nasional Indonesia, Partai Sosialis Indonesia dan Partai Masyumi untuk periode
1945 – 1965. Berikutnya bagaimana pergulatan setiap era merealisasikannya di
masa itu
Sketsa Pemikiran
Kolonialisme-Imperialisme yang sosoknya hadir di Indonesia dalam
bentuk pemerintahan Hindia-Belanda, dimana rakyat hidup dalam suasana yang
penuh dengan kesengsaraan, kemelaratan, tidak dapat menikmati pendidikan,
kelaparan dan keskitan bahkan kematian yang absurd. Di lain sisi
kekayaan bumi Indonesia baik yang berupa tetumbuhan maupun kekayaan yang
terdapat dalam perut ibu pertiwi, terus diekslorasi dan diekspoitasi dan
dinikmati kaum penjajah dengan seluruh antek-anteknya terutama bangsa eropah,
cina dan asia lainnya, termasuk kaum feudal dan priyayi. Situasi ini
merupakan suatu kondisi utama yang melingkupi corak pemikiran para pendiri
republik ini, tidaklah mengherankan bila seluruh komponen pejuang itu pekat
dengan cita-cita rakyat sejahtera, adil dan makmur, anti imperialisme yang merupakan
wujud kapitalisme yang membawa kekejaman dan penderitaan bagi rakyat, mereka
kritis terhadap kelas dan elitisme.
Para pejuang ini saling kenal, bersahabat, dan garis merah
pemikirannya-pun saling berpengaruh satu-sama lain sekalipun ada
perbedaan-perbedaan yang tak terhindarkan dan tak mungkin tersembunyikan.
Sebelum Indonesia merdeka ketiganya sama yakinnya bahwa kemerdekaan itu akan
datang dan hanya tinggal menunggu waktu momentum itu datang, tahun 1925 Tan
Malaka Menulis buku Nar de Republiek Indonesia (NRI), tahun 1932 Hatta menulis
brosur Ke Arah Indonesia Merdeka (KIM) dan 1933 Soekarno juga kemudian menulis
Menuju Indonesia Merdeka (MIM). Bila kita lacak dari ketiga karya
monumental itu kemudian dirujuk dengan karya lainnya baik sebelum kemerdekaan
maupun setelahnya akan menampakkan suatu panorama pemikiran tentang utopia
Indonesia Merdeka, dimana rakyatnya hidup sejahtera tanpa kesenjangan social
yang berarti karena demokrasi politik dan ekonomi dijalankan dengan baik. Sama-rata Sama-rasa di bidang politik, ekonomi dan
social.
Hampir di seluruh karya mereka
menunjukkan keberpihakan dan pembelaannya terhadap rakyat yang menghadapi
kemiskinan, ketimpangan social dan kelas, pengangguran, penderitaan kaum buruh
dan tani yang dieksploitasi, ketidakberdayaan dilapangan politik, pendek kata
adanya struktur social yang tidak adil akibat kapitalisme-imperialisme,
feodalisme, elitisme karenanya mereka mencitakan kemerdekaan dari penjajahan,
berdaulat, adil-makmur dan sejahtera.
Soekarno mengekspresikan cita-cita
kemerdekaan dan masyarakat yang dimpikannya seperti yang termaktub dalam
risalah MIM[6] sebagai berikut:
“Diseberang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke
dunia keselamatan Marhaen, satu ke dunia kesengsaraan Marhaen; satu ke dunia
sama-rata-sama-rasa, satu ke dunia sama-ratap-sama-tangis. Celakalah Marhaen,
bilamana kereta itu masuk ke jalan yang kedua, menuju kealamannya kemodalan
Indonesia dan keburjuisan Indonesia. Oleh karena itu Marhaen awas- lah awas!
Jagalah yang kereta-kemenangan nanti tetap dalam kendalianmu, jagalah politieke
macht nanti jatuh didalam tanganmu, didalam tangan besi kami, didalam tangan
baja kamu!”
“Lemparlah jauh-jauh nasionalisme keburjuisan dan
nasionalisme keningratan itu, bantingkanlah menjadi debu nasionalisme keburjuisan
dan nasionalisme keningratan itu diatas itu buntalan ke-Rakyatan
massa!...Mereka punya nasionalisme bukanlah nasionalisme kemanusiaan, bukan
nasionalisme yang ingin keselamatan massa, mereka punya nasionalisme adalah
nasionalisme burjuis, yang paling jauh hanya ingin Indonesia Merdeka saja, dan tidak
mau merubah susunan masyarakat sesudah Indonesia Merdeka. Mereka bisa juga revolusioner, tetapi borjuis
revolusioner, tidak Marhaenistis revolusioner, tidak sosio revolusioner!”
“Dengungkan sampai melintasi tanah datar dan gunung
dan samudra, bahwa Marhaen diseberangkan jembatan emas akan mendirikan suatu
masyarakat yang tiada keningratan dan tiada keburjuisan, tiada kelas- kelas dan
tiada kapitalisme!”
Betapa gelora Soekarno yang
menyala itu menggambarkan idenya tentang suatu tatanan masyarakat di masa
Indonesia Merdeka, dimana rakyat terpenuhi hak-hak sosialnya dan tiada
kesenjangan yang nyata. Semangat ini tidak hanya dimiliki oleh Soekarno,
dengan gayanya yang khas dan tajam. Hatta juga menginginkan suatu transformasi
social dalam Indonesia merdeka sehingga rakyat tidak hanya dijadikan perkakas.
“Kebangsaan cap ningrat membayangkan suatu Indonesia
yang terlepas dari tangan Belanda, akan tetapi takluk ke bawah kekuasaan
mereka….. dalam kebangsaan yang seperti itu, rakyat yang banyak tidak
terhitung. Hanya kaum ningrat atau kaum bangsawan yang menjadi ukuran bangsa! … Bagaimana pula rupa
kebangsaan yang bercap kaum intelek? Menurut paham intelek, kaum terpelajar
atau kaum cerdik pandai, Indonesia Merdeka haruslah berada di bawah kekuasaan
mereka sendiri. Negeri tidak maju dan makmur kalau tidak dikemudikan oleh
orang yang berpengetahuan tinggi … Sebab itu nasib rakyat dan urusan negeri ada
di tangan kaum intelek. ..Akan tetapi bukan kebangsaan ningrat dan bukan pula
kebangsaan intelek yang dikehendaki oleh Pendidikan Nasional Indonesia,
melainkan kebangsaan rakyat. “Karena rakyat itu badan dan jiwa bangsa”.
Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendah derajad kita. Dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita
akan turun. Hidup dan matinya Indonesia merdeka semuanya itu tergantung
kepada semangat rakyat….. Kalau Indonesia sampai merdeka, mestilah ia menjadi
Kerajaan Rakyat, berdasar kemauan rakyat”.[7].
Sedangkan yang dicitakan oleh Tan
Malaka, tak pelak lagi sebagaimana layaknya Komunis (setelah merdeka menjadi
Murbais) yakni masyarakat Proletaris, namun demikian Tan Malaka adalah seorang
rasional dan juga tak dapat begitu saja menggadaikan sepenuh hatinya
menggantung Indonesia pada Internasionalisme. Corak nasional tetap nampak
cita rasanya, adapun ungkapan mengenai cita-cita Masyarakat Indonesia merdeka
terekam sebagai berikut:
“Juga sesudah kemerdekaan nasional tercapai kerjasama yang erat antara
proletar dan bukan proletar adalah suatu syarat yang mutlak. Jika kerjasama itu
terputus, terlebih-lebih jika orang-orang bukan proletar menjadi lawan buruh
industri, maka kemerdekaan nasional hanya memberikan satu jalan bagi perbudakan
nasional baru. Tak jauh daripada Indonesia terdapat pencuri-pencuri
internasional seperti imperialis-imperialis : Inggris, Amerika, Jepang, yang
nanti akan melancarkan serangan imperialisme pada tiap-tiap kesempatan yang
baik. Selama Indonesia ke dalam tetap bersatu dan solider, selama itu
mereka akan menangguhkan usahanya merampas Indonesia. Akan tetapi begitu
lekas perpecahan di dalam, mereka akan segera mendapatkan jalan melaksanakan
untuk sekian kalinya politik devide et imperanya (memecah belah
rakyat dalam golongan-golongan untuk dikuasai) Indonesia terdiri dari
pelbagai pulau yang berada pada pelbagai tingkatan kebudayaan, memberikan
lapangan baik bagi pencuri-pencuri internasional. Daerah-daerah di luar Jawa
yang bersifat sangat borjuis kecil akan mudah dapat diperalat melawan Jawa yang
sangat Proletaris[8]
Dari ungkapan di atas, jelaslah bahwa cita-cita para pendiri republik
menginginkan suatu tatanan masyarakat yang berkeadilan dan setara secara politik
dan ekonomi, dimana rakyat hidup sejahtera tidak merasa ada ancaman yang
membuatnya jatuh melarat karena pemerintahan akan selalu memperhatikan
kepentingannya. Pandangan-pandangan tersebut, cukuplah memadai
untuk menggambarkan suasana pikiran para pendiri Republik Indonesia tentang
Kemerdekaan yang diharapkannya dan tatanan masyarakat yang dicitakan.
Dengan demikian, tampaklah bahwa mereka sepakat pentingnya (bahkan menentukan)
peran negara dalam menentukan kesejahteraan rakyat, sekalipun bila ditelisik,
Hatta akan wasa-was Indonesia jatuh kedalam otoriterianisme dan kediktatoran[9] sebagai argument rezim untuk mencapainya.
Bila kita coba sandingkan istilah-istilah konseptual negara kesejahteraan
dengan pendapat Soekarno-Hatta dan Tan Malaka terasa ada padanan, sekalipun
tidak sedetail dalam konsep negara kesejahteraan, hal ini dapat disadari
mengingat pendapat itu bersifat umum dan dalam kerangka gerakan politik untuk
merebut kemerdekaan dan juga mempertahankannya. Berikut ini matrik yang
coba disanding padankan:
NEGARA
KESEJAHTERAAN
|
SOEKARNO
|
HATTA
|
TAN MALAKA
|
Social
Citizenship
|
Marhaenisme
|
Daulat
Rakyat
|
Proletar
dan Non Proletar
|
Full
Democracy
|
Demokrasi
Berkeadilan (Socio Democracy)
|
Demokrasi-Kerakyatan
|
Demokrasi
dipimpin Proletar
|
Modern
Industrial Relation system
|
Gotong
Royong
|
Perusahaan
Negara dan Koperasi
|
Anti
Pemilikan dan Milik Negara
|
Right To
Education
|
Pendidikan
Kesadaran Massa Aksi
|
Pendidikan
Nasional
|
Massa Aksi,
Pendidikan
Kerja
|
Untuk melihat lebih mendalam mengenai konsepsi kesejahteraan rakyat yang
dicitakan para pendiri republik itu, tiada salahnya bila kita coba bedah lebih
jauh lagi mengenai pemikiran mereka termasuk program-program yang diusulkan
pada partai ataupun pemerintahan saat mereka telah menggenggam kekuasaan
pemerintahan Indonesia Merdeka. Marilah kita meninjau satu persatu.